Friday, June 26, 2009

Catatan tentang Narrative Journalism

CATATAN TENTANG NARRATIVE JOURNALISM
Oleh Arifuddin A. Patunru

Berasumsi bahwa setiap kita, warga komunitas pensiunan Bank Indonesia adalah citizen reporter (pewarta warga) yang berkontribusi dengan Lentera Citra, maka memahami jurnalisme mungkin berfaedah.
Bermula dari sebuah surat elektronik dari Siti Nurrofiqoh yang dialamatkan ke miling list di mana saya termasuk anggotanya. Fiqoh menawarkan kursus narrative journalism – jurnalisme bergenre sastrawi -- bagi yang berminat. Saya memutuskan untuk mengikuti kursus itu.
Keputusan saya itu lebih didasari kebutuhan untuk mewujudkan obsesi menulis dengan benar, sebagai wujud tanggung jawab selaku anggota redaksi majalah PPBI Lentera Citra.
Senin, 25 Mei 2009 pukul 9.45, hari pertama kursus jurnalisme. Mencapai lantai 4 sebuah gedung di Jalan Kebayoran Lama No. 18CD cukup menguras tenaga karena melewati tangga. Tak ada lift. Gedung itu merupakan toko-kantor yang kurang terawat. Kusam.. Mungkin pertimbangan kemampuan finansial sehingga Yayasan Pantau memilih tempat itu.
Pukul 10, kelas dimulai. Peserta sebanyak 11 orang. Kecuali saya, peserta yang rata-rata berusia lebih-kurang 30-an semuanya adalah wartawan dari berbagai media cetak dan radio. Mentornya adalah Janet Steel – Professor dari George Washington University.
Mengenakan blous hitam, rok panjang coklat muda dan bergelang ronce, perempuan lajang tinggi 170 cm, 52 tahun ini mengawali kuliahnya dengan sebuah pertanyaan: Breaking news dari televisi, radio, atau internet merupakan tantangan bagi media cetak, bagaimana menulis yang menarik? Bukankah relevansi suratkabar makin terletak pada kemampuannya menyajikan analisis?
Menjawab pertanyaan ini, Steel merujuk Tom Wolfe. 1973, Wolfe memperkenalkan sebuah genre baru yang disebutnya New Journalism. Ia mengawinkan disiplin keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat novel tapi faktual. Genre ini mensyaratkan liputan mendalam, namun memikat. Genre ini kemudian dikenal dengan nama narative reporting atau literary journalism. Wolf menunjuk 4 hal yang membedakan jurnalisme baru dengan jurnalisme konvensional: (1) Pemakaian konstruksi adegan-per-adegan; (2) Pencatatan dialog secara utuh; (3) Pemakaian sudut pandang orang ketiga; dan (4) Catatan yang rinci terhadap gerak tubuh, kebiasaan, dan pelbagai simbol dari status kehidupan orang-orang yang muncul dalam caritanya.
Steel menggambar piramida terbalik dan garis potong horizontal di tengahnya dan menulis 5W + 1 H :




Seorang jurnalis harus memastikan siapa nara sumbernya, kejadian apa, dimana terjadinya, kapan terjadinya, kenapa bisa terjadi dan selanjutnya bagaimana.
Sebagai contoh narrative reporting, Steel membahas Anthony Shadid pada The Washington Post, 31/5/2003: A Boy Who Was Like a Flower. Laporan Shadid ini dipilih sebagai model tulisan bergenre narrative journalism karena sangat rinci, mendalam dan berhasil membawa pembaca seolah berada pada peristiwa kematian seorang anak laki-laki usia 14 tahun, sebagai korban perang di Irak.
Sebelum mengakhiri kuliahnya, Steel memberi tugas kepada peserta kursus, menulis satu halaman, hasil liputan suatu kejadian dan wawancara dengan narasumber.
Rabu, 27/5/2009 adalah hari kedua, diskusi pekerjaan rumah. Tulisan masing-masing peserta dibahas, dikupas kesalahan-kesalahan dan bagaimana seharusnya. Selanjutnya membahas ”Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chick Rini, sebagian dari buku ”In Cold Blood” karya Truman Capote dan kliping harian The New York Times pada 1959 ”Wealthy Family, 3 of Family Slain”
Tugas pekerjaan rumah adalah membuat narasi dengan gaya orang pertama (”saya” atau ”aku” atau ”abdi” atau ”gua” atau lainnya) untuk menggambarkan sebuah adegan. Peserta diminta membaca Amarzan Loebis dalam ”Buru, Menziarahi Negeri Penghbisan”
Jumat, 29/5/2009 hari ketiga. Diskusi tentang pekerjaan rumah yang dibuat berdasarkan ”Buru, Menziarahi Negeri Penghbisan” serta persoalan kata ”saya” Membahas ”Tikungan Terakhir” (laporan kematian wartawan Rudi Singgih) oleh Agus Sopian dan ”It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin.
Sabtu, 30/5/2009 hari keempat, Diskusi bersama Amarzan Loebis – Redaktur Senior majalah Tempo. Dalam menulis, kata Amarzan, harus dicari apa yang menarik pada tema itu. Hal-hal yang menarik itu belum disentuh oleh penulis sebelumnya. Buat daftar apa yang belum diketahui orang dan lakukan eksplorasi.
Berbeda dengan Janet Steel dan Andreas Harsono yang banyak merujuk kepada tradisi jurnalisme Amerika, Amarzan lebih mengacu kepada tradisi jurnalisme Indonesia sendiri. Problem utama kita, menurut Loebis adalah sikap kebahasaan. Tiga puluh dua tahun Soeharto berkuasa, berpengaruh terhadap bahasa Indonesia. Sikap kebahasaan Tempo – Goenawan Muhamad -- tidak ”beriman” 100 persen pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, karena bahasa yang hidup adalah yang secara cerdas mengeksplorasi signal-signal komunikasi antarkomunitas.
Tempo menggunakan gaya bahasa yang basah, menggigit dan berwarna, dan tidak menggunakan: ”dalam kaitan”, ”dalam rangka”, ”sementara itu”, ”dalam pada itu” dan sebagainya. Tempo juga tidak menggunakan akronim-akronim.
Struktur yang digunakan bukan struktur bikini – kata lain piramida terbalik – melainkan struktur bidak:








Hotman Sinaga, 32 tahun, memulai pekerjaannya sebagai peyadap tuak. Ia kayuh sepedanya menuju kebun kelapa .... (Tempo, 11 Juni 1984, ”Ketika Minuman Keras Melekat Bersama Tradisi”)
Setelah lead, pindah ke bridge, paragraf pengantar ke body, lalu masuk ke conclusion , dan end, bagaimana menutup tulisan atau laporan.
Senin, 1 Juni 2009, hari kelima, mentor adalah Andreas Harsono -- Wartawan feature service Pantau, anggota International Consortium of Investigative Journalists, mendapatkan Nieman Fellowship di Universitas Harvard. Menyunting buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Kini menyelesaikan buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism, membahas hubungan media dengan kekerasan etnik, agama dan nasionalisme di Indonesia dan Timor Lorosae.
Sessi ini mendiskusikan tentang dasar-dasar dan etika jurnalisme. Pedomannya, The Elements of Journalism, karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.
Ada 10 elemen jurnalisme.
1) Kebenaran. Kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosentiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartwan memberitakan kecelakaan itu. Dimana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua mungkin ditanggapi pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.
2) Loyalitas. Kepada siapa wartawan harus loyal? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakatnya? Ini penting, karena wartawan punya tanggung jawab yang tak jarang harus melangkahi kepentingan perusahaan tempat mereka bekerja. Contoh konkret adalah sejauh mana reporter TV-One – pemiliknya adalah Kelompok Bakri - melaporkan tuntutan korban lumpur Lapindo. Reporter itu menempatkan loyalitasnya kepada perusahaan atau kepada masyarakat – korban lumpur Lapindo.
3) Disiplin dalam melakukan verifikasi. Disiplin ini mampu membuat wartawan menjaring desas desus, gosip, lupa, kekeliruan, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi, atau seni. Batas antara fiksi dan jurnalisme harus dibuat sejelas-jelasnya. Jurnalisme tak bisa dicampuri fiksi setitik pun
4) Independensi. Kovach dan Rosentiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatanya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Kalau begitu wartawan boleh tak netral? Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Yang prinsip adalah sikap independen terhadap narasumber. Ketika wartawan menulis opini, ia harus menjaga akurasi datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati.
5) Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi. Salah satu cara pemantauan adalah melakukan investigative reporting – sejenis reportase yang berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hokum, yang seharusnya jadi terdakwa dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.
6) Jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena seperti pada zaman Yunani kuno –lewat forum inilah demokrasi ditegakkan. Sekarang, teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga: ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan. Debet publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.
7) Memikat sekaligus relevan. Meminjam moto majalah Tempo, jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu” Andreas menjelaskan tentang komposisi,tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca, dan sebagainya. Ironisnya, dua faktor itu justru dianggap dua hal yang bertolak belakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka dan membosankan. Bukti-bukti cukup banyak bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah-raga, tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku, tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.
8) Proporsional dan komprehensif. Banyak surat kabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul sensasional dan penekannya pada aspek emosional. Kovach dan Rosenstiel mencontohkan surat kabar sensasional, ibarat seseorang yang ingin menarik perhatian dengan melepas pakaian di tempat umum, telanjang. Berbeda dengan pemain gitar yang datang ke tempat umum, memainkan gitar. Sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang mendengarkannya. Pemain gitar ini contoh surat kabar yang proporsional. Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tidak seilmiah pembuatan peta.
9) Setiap jurnalis harus mendengarkan hati nuraninya. Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tugas para redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final, tapi mereka harus senantiasa membuka diri atas semua kritik yang masuk.
10) Sekarang zaman digital menciptakan lebih banyak media dan banjir informasi. Jurnalisme membutuhkan posisi yang sebanding dengan perkembangan teknologi. Warga punya hak terhadap berita, namun ia juga punya kewajiban. Demokrasi dan jurnalisme lahir bersama, dan juga akan jatuh bersama-sama.
Bacaan: “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia: “Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita” oleh Andreas Harsono dalam buku Jurnalisme Sastrawi; Laporan-Laporan dalam Nieman Narrative Journalism Confrence.
Pekerjaan rumah: menulis satu halaman deskripsi yang padat, memanfaatkan penciuman, pendengaran, warna, gerakan, kasar-halus, kontras (lucu, aneh, menarik), merampas perhatian pembaca.
Rabu, 3 Juni 2009. Diskusi lanjutan soal jurnalisme dan masalahnya dengan nasionalisme-agama-etnik-ideologi-gender. Rujukannya: “The Ethnic Origins of Religions Conflict in North Maluku Province, 1999-2000” oleh Chris Wilson; “Panasnya Pontianak, Panasnya Politik” oleh Andreas Harsono dan Douglas Kammen; “Fire Without Smoke and Other Phantoms of Ambon’s Violence” oleh Patricia Spyer.
Sessi kedua adalah diskusi tentang struktur narasi dengan contoh “Hiroshima” karya John Hersey.
Tugas untuk hari Jumat: mencari narasumber dan melakukan wawancara. Membuat deskripsi dan dialog. Menggunakan kalimat-kalimat yang bernas, memikat, indah, kuat serta menyentak.
Jumat, 5 Juni 2009 adalah hari terakhir kursus jurnalisme Pantau. Sessi pertama membahas satu isu dalam empat pendekatan: Aceh, empat naskah, empat gaya, empat struktur. “Kejarlah Daku, Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah; “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono; “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini. Sessi kedua, diskusi tentang sumber anonim dan teknik interview. Berlatih interview dengan bantuan video.
Kursus jurnalisme sastrawi Pantau ditutup sore yang tua itu. Saya bergegas pulang membawa sebuah pengalaman: belajar jurnalisme bersama para jurnalis, sebuah komunitas yang berbeda dengan komunitas yang selama ini saya berkecimpun di dalamnya.