Friday, November 2, 2007

Sekali UKM Nge-Blog, Dua Pulau Terlampaui


"Belum ada yang dapat secara meyakinkan mendebat tentang pentingnya peran bank sentral sebagai penjaga gawang stabilitas mekroekonomi” (Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia)

Empat dasawarsa Bank Indonesia (BI) menggeluti dunia usaha kecil adalah sebuah kurun waktu pembelajaran dan pengayaan pemahaman bagaimana memberdayakan kaum ekonomi lemah. Kesungguhan BI dalam mengembangkan kelompok usaha kecil yang mayoritas di negeri ini, dibuktikan dengan eksitensi sebuah satuan kerja khusus menangani pengembangan usaha kecil yang bernaung di bawah Urusan (yang kemudian berubah menjadi direktorat lalu tergradasi menjadi biro) Kredit. Eksistensi dan peran satuan kerja ini terhenti karena berlakunya Undang Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Selain unit kerja tersebut, kerja sama dengan pihak luar negeri banyak dan beragam, baik pemerintah maupun nonpemerintah, antara lain Nederland Economic Institute (NEI), Carl Bro International dari Denmark, GTZ dari Jerman, Masyarakat Eropa, World Bank, ADB dan lembaga-lembaga lainnya. Selain bantuan keuangan dalam bentuk hibah atau pinjaman lunak seperti two step loan, mereka juga memberikan bantuan teknis berupa tenaga-tenaga ahli (advisor dan konsultan). Menyusul berlakunya undang-undang tersebut yang mengharuskan BI menyetop perannya selaku penyedia dan fasilitator kredit program, tersirat keengganan dan kegamangan lembaga-lembaga internasional itu karena BI di mata mereka adalah lembaga yang dapat dipercaya dan memiliki reputasi dalam pemberdayaan komunitas ekonomi lemah.

Mengutip pendapat Burhanuddin Abdullah dalam kolomnya di majalah intern BI, KITA edisi XXVII / Agustus – September 2007, “Paling tidak sampai saat ini sudah ada sekumpulan pemenang nobel ekonomi, termasuk Kydland-Prescott, yang sumbangannya pada bidang ilmu ini berakar pada irrelevancy kebijakan moneter dalam upaya koordinasi untuk menciptakan positive strucural break pada pertumbuhan ekonomi”

Selanjutnya, the best central banker 2007 itu mengatakan bahwa, kemampuan teori ini secara empiris dalam memprediksi hasil sampai saat ini belum terpatahkan. Oleh karena itu, kita memang perlu tetap fokus pada stabilitas makroekonomi sampai teori ini terfalsifikasi, tetapi jangan kemudian menjadi segala-galanya yang dilakukan bank sentral, terutama dalam konteks negara berkembang yang masih dalam proses pemulihan pascakrisis menuju ekilibrium baru yang lebih baik.

Jika BI selaku keeper stabilitas makroekonomi di satu sisi, maka dalam rangka pelaksanaan tugas konstitusionalnya itu, ia harus berperan pula sebagai accessibility stimulant sektor riil (baca usaha kecil/mikro) dengan perbankan di lain sisi. Itulah sebabnya pandangan yang mendikotomikan domein BI hanya pada urusan moneter, sedangkan untuk urusan fiskal dan sektor riil adalah domein pemerintah, menurut saya lebih karena ketidakpahaman akar permasalahan. Opini bahwa BI sudah tidak relevan dengan sektor riil, justeru opini itu sendiri yang tidak relevan.

Dalam konteks pemberdayaan atau penguatan grass root, pengalaman dan reputasi BI empat dasawarsa dalam memfasilitasi usaha kecil, mikro dan koperasi, sungguh sebuah kemubaziran jika dibuang begitu saja. Program pengembangan usaha kecil/mikro perlu berlanjut. Tentu saja dengan penyesuaian yang kontekstual, namun esensinya adalah pemberdayaan ekonomi lemah, mengupayakan agar usaha kecil/mikro bisa tumbuh dan berkembang.

Hanya saja, program-program pengembangan UKM itu mungkin perlu di-review validitas dan efektivitasnya, karena tidak semuanya memberikan manfaat yang optimal. Ambil contoh, 1979 – awal 1990-an ratusan SPID report (Survey Project Identification) yang dihasilkan oleh beberapa Kantor Cabang BI yang dilengkapi RPMU (Regional Project Management Unit) dan melibatkan expatriate dalam tim konsultan, hanya satu-dua saja yang diimpelementasikan oleh bank pelaksana. Belum lagi menyoal kualitas kreditnya. Laporan-laporan BLS (Base-Line Survey) hasil kerja sama dengan beberapa universitas, sejauh mana kemanfaatannya masih dipertanyakan. Lalu lending model yang jumlahnya cukup banyak, cukupkah hanya untuk pajangan rak buku saja?

Perkembangan terkini berkaitan dengan isu grass root yang saya ketahui adalah keberadaan P3UKM (Pusat Pengembangan Pendampingan Usaha Kecil dan Menengah) yang diresmikan 11 Juli 2003 di KBI Bandung. Kini berbagai varian dari P3UKM telah berkembang dalam bentuk KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank) di beberapa propinsi/ kabupaten/kota. Di Jakarta, Surabaya dan Semarang ada PEAC (Promoting Enterprise Access to Credit). Di Banjarmasin ada LP2UMKM Kalsel (Lembaga Pengembangan Pendamping Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kalimantan Selatan). Di Makassar, Lembaga Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Sulawesi Selatan, dalam persiapan pendiriannya.

Jika boleh berkontribusi dalam pengembangan usaha kecil/mikro tersebut, seiring dengan trend yang mewabah akhir-akhir ini, saya menawarkan sebuah gagasan, mungkinkah dunia usaha kecil kita pertautkan dengan dunia maya. Maksudnya, mungkinkah UKM “digiring” memahami dan mengakrabi teknologi informasi? Kalau UKM nge-blog atau di-blogging-kan atau UKM memiliki situs (website) sendiri di antarjejaring (internet), mungkinkah? Yang mungkin menjawab pertanyaan ini hanya Bank Indonesia, karena ia memiliki infrastruktur dan kemampuan untuk itu. Namun dapat diyakini bahwa kalau gagasan ini bisa diterima, maka ia akan memberikan multiplier effect sebagai berikut.

Pertama, di sisi UKM, mereka dapat memperoleh informasi yang mereka butuhkan, mulai dari aspek produksi, pengelolaan usaha hingga pemasaran. Petani dapat mengetahui bibit tanaman unggul tahan-hama, waktu tanam yang tepat sehingga tidak overproduksi untuk menjaga stabilitas harga.

Anjloknya harga tomat dari Rp 5.000,- per kilogram menjadi Rp 900,- perkilogram di Tegal belum lama ini diberitakan oleh sebuah televisi swasta, membuat petani meradang. Tomat segar sedianya dijual ke pasar lokal atau dikirim ke Jakarta, dihambur dan diinjak-injak, unjuk kekecewaan para petani. Kalau saja petani mengerti atau memperoleh informasi bagaimana sistem dan pola tanam yang tepat sehingga tidak terjadi overproduksi, tentulah petani tidak harus menderita kerugian puluhan juta rupiah.

Asumsi, berkat informasi dari sebuah situs internet, peternak dapat mengelola peternakannya sehingga hewan ternaknya bisa terhindar dari penyakit antrax, sapi gila dan penyakit lainnya, nelayan dapat mengetahui waktu yang tepat turun ke laut dan memahami pelestarian lingkungan tidak melakukan penangkapan ikan secara ilegal (bom ikan), perajin bisa berinovasi memunculkan hasil kerajinan yang atraktif, bisa terpasarkan baik di dalam maupun luar negeri. Dan yang terakhir UKM juga dapat memahami bagaimana berhubungan atau menggunakan jasa bank.

Kedua, di sisi perbankan, jika komunitas UKM dapat masuk ke dalam jaringan internet dengan asumsi kelompok-kelompok UKM secara umum telah memiliki website/weblog, maka keterhubungan dua pihak itu tercipta. Program mengenal (calon) nasabah (know your customer -KYC) perbankan bisa jalan, perbankan tidak lagi semata-mata merujuk kepada BI Checking. Intermediasipun bisa berfungsi dan pada gilirannya efisiensi bisa meningkat. Jika perbankan dapat meningkatkan efisiensi, masalah adverse selection (kesulitan bank memilah (calon) nasabah) dan celah terjadinya moral hazard bisa terpecahkan sehingga monitoring cost dapat ditekan.

Selama inefisiensi masih terjadi, lending rate perbankan belum mengacu sepenuhnya kepada BI rate disebabkan kondisi informasi yang asimetrik antara sektor produksi dengan perbankan. Dalam situasi ini perbankan harus memasukkan biaya risiko dalam tingkat bunga pinjamannya (Stiglitz dan Weiss, 1981). Karena bank menghindari risiko (risk adverse) maka mereka cenderung menggabungkan keseimbangan (pooling equilibrium) tingkat bunga untuk debitur baik dan debitur tidak baik. Akibat dari kondisi ini tingkat bunga pinjaman tetap tinggi walaupun BI rate diturunkan.

Jika kondisi informasi simetrik, ex ante (sebelum peristiwa terjadi) bank dapat memilah mana (calon) nasabah yang baik dan mana yang tidak baik. Kalau bank mampu memonitor perilaku debitur atau memiliki informasi yang lengkap tentang debitur, maka bank dapat menurunkan agency cost-nya. Walhasil, bank dapat menekan tingkat bunga ke posisi yang tidak memberatkan nasabah, return pun yang diperoleh bank meningkat. Hal ini tentu berdampak positif terhadap pemberian kredit kepada pengusaha (kecil/mikro).

Ketiga, dari sisi BI, untuk short run mungkin berbiaya tinggi, tapi untuk long run akan sangat murah, hakulyakin benefit-nya akan jauh lebih besar daripada cost-nya. Pada awal implementasi (jika gagasan ini diterima) pembiayaan yang harus dilakukan adalah untuk penyediaan infrastruktur berikut pelatihan. Mencerdaskan komunitas UKM (dari mengenal komputer hingga memiliki blog sendiri) tentu memerlukan biaya. Namun, ketika UKM terhubung dengan perbankan dan kemudahan memperoleh informasi “gara-gara” internet, karena mereka telah menjadi blogger-blogger, maka nilai tambah akan hadir dengan sendirinya.

Ketika UKM terakses dengan perbankan, BI sekali mendayung, dua buah pulau terlampaui. UKM akan tumbuh berkembang, sektor riil menggeliat berkat fasilitas kredit dari perbankan, intermediasi perbankan dapat berfungsi. Peningkatan kuantitas maupun kualitas perkreditan perbankan akan tercapai. Dan ketika capaian-capaian itu teraih yang berujung kepada stabilitas makroekonomi, maka market target BI pun tergenggam. Menyusul stabilnya makroekonomi dan distribusi pendapatan yang adil dan merata, negeri ini pun diharapkan bisa lepas dari lilitan kemiskinan.

1 comment:

UsagiDaisuki said...

halo pak... saya sudah liat blog ta'... asyik, sering sering ki' isi nah... nes.