Saturday, November 10, 2007

Hadirkan (Kembali) Gedung Tua Itu...
(Surat Terbuka untuk Pak Burhanuddin Abdullah)

Kalau sekiranya serial sinetron yang pernah ditayangkan di sebuah televisi swasta bertajuk Lorong Waktu yang pemeran utamanya Dedy Mizwar bukan sekedar sinetron, tetapi ia benar-benar ada, maka mesin waktu itu sekali-sekali kita sorotkan ke Kota Makassar yang pernah bernama Ujungpandang. Waktunya kita setel ke tahun 1970an.

Cakupan liputan difokuskan pada dua titik lokasi yaitu Jalan Nusantara No.63 dan Jalan Jenderal Sudirman No. 3. Titik yang pertama adalah lokasi gedung Kantor Cabang Bank Indonesia Ujungpandang yang lama. Kalau sudut pengambilan gambar dari depan agak ke utara ketika matahari mendekati titik kulminasi, dapat dipastikan akan menghasilkan gambar perspektif sebuah gedung dengan gaya arsitektur yang senapas dengan gedung Bank Indonesia di Jakarta Kota dan gedung KBI-KBI lain yang ada sejak zaman Belanda.

Titik yang kedua adalah Kantor Bank Indonesia Makassar yang berhadapan dengan Lapangan Karebosi, tak jauh dari perempatan Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Jenderal Ahmad Yani. Letaknya memang sangat strategis di jalan protokol itu.

Hanya saja gedung kantor ini tidak lagi bernuansa klasik. Pilar-pilar dan les plank yang dibungkus aluminium anodize terkesan gelap. Bagi orang awam seperti saya, tidak mengerti dasar pertimbangannya dalam memilih bentuk bangunan berikut warna ketika gedung itu dibangun.

Pemindahan kantor dari gedung lama ke gedung baru, karena volume kegiatan operasional yang kian meningkat memerlukan ruang kerja yang lebih luas. Setelah KBI pindah, gedung itu dipinjam-pakai oleh BPD Sulsel.

Sekarang titik pertama itu tak ada lagi. Ia tereksekusi secara semena-mena oleh pemerintah kota Makassar. Kalau saja pihak yang berkuasa di sana mau mencontoh Pemerintah DKI Jakarta atau kota-kota lain di Jawa, yang menghargai benda-benda yang memiliki nilai historis, tentulah gedung yang bergaya arsitektur renaissance yang didirikan pemerintah kolonial Belanda pada Abad XVI itu masih berdiri sebagai saksi sejarah.

Penggusuran gedung-gedung antik itu oleh pemerintah kota tak menyisakan posisi tawar bagi para pemiliknya, karena ia atas nama kebijakan perluasan kawasan pelabuhan yang maha-penting untuk memajukan perekonomian Sulawesi Selatan dan Indonesia Timur. Pada hal kalau kajiannya sedikit lebih komprehensif, boleh jadi gedung-gedung bersejarah itu tak perlu digusur.

Bukan hanya gedung kantor Bank Indonesia di Jalan Nusantara No.63 itu yang tergusur, gedung-gedung kantor lainnya yang sezaman pendiriannya dengan ex kantor De Javasche Bank itu seperti Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Dagang Negara yang tempo doeloe bernama Excompto Bank dan gedung-gedung tua lainnya, semua tak luput dari buldoser.

Memang sebuah ironi tatkala BI berhadapan dengan pihak penyimpan kepentingan yang bernuansa kolutif dengan penguasa setempat, harus menjadi pecundang. Bagian belakang Mess BI di Jalan Pasar Ikan yang dulunya ada kolam renang yang tak kalah bagusnya dengan Tirta Samudra dan selebihnya adalah ruang publik yang mencium bibir pantai, kini sudah dikepung oleh reklamasi yang dipenuhi cottage-cottage milik sebuah hotel tetangga mess itu. Tak tercapai keinginannya merebut kepemilikan Mess BI, maka ruang publik di pinggir laut itulah yang dicaplok. Entah bagaimana, pantai dan sebagian laut yang dikuasai negara dan sepenuhnya untuk kepentingan umum, beralih kepemilikan ke perorangan (pemilik hotel itu).

Grand Hotel (kini Kantor BRI) yang berseberangan Kantor Gubernur (kini Kantor Wali Kota) juga menyisakan kemasgulan dan kekecewaan yang mendalam di wajah rombongan wisatawan Belanda paruh-baya pada suatu ketika mereka ingin bernostalgia di hotel itu.

Menemukan kembali rekam jejak gedung tua milik BI itu, saya tak yakin sistem kearsipan di KBI Makassar mampu memenuhi keinginan, menyimpan audio visual file tentang gedung itu apa lagi alat-alat cakram padat (video compact disk –VCD) belum tersedia banyak seperti sekarang.

Itulah sebabnya, untuk menghadirkan kembali romantisme masa lalu diperlukan mesin waktu ala Dedy Mizwar itu. Karena ia sebatas hayal, maka dalam kesempatan ini saya menitipkan sebuah harapan kepada Pak Burhanuddin Abdullah, kiranya kerinduan akan masa silam bisa terobati, kalau memang ada rencana merenovasi Kantor Bank Indonesia yang menatap Karebosi itu, tolonglah gedung Kantor Cabang Bank Indonesia yang pernah ada di Jalan Nusantara No.63 itu dihadirkan kembali di Jalan Jenderal Sudirman No.3 Makassar.

Himbauan dari seorang yang bukan siapa-siapa dan hanya kebetulan memulai bekerja di KBI yang tinggal kenangan itu pada 1 Desember 1969 sebagai tukang ketik jurnal, didasari beberapa alasan.

Pertama, gedung KBI Makassar saat ini ditinjau dari aspek arsitektur, sebagai salah satu kantor yang berkedudukan di ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan, ia tak memiliki nilai kultural yang berkaitan dengan unsur model rumah Bugis-Makassar.

Kedua, mencontoh renovasi dan perluasan KBI Yogyakarta, Bandung dan Cirebon, ketiga gedung KBI itu menyesuaikan dan mempertahankan gaya arsitektur gedung lama, maka renovasi gedung KBI Makassar seharusnya menghadirkan pula gaya arsitektur renaissance.

Ketiga, membuat tiruan bangunan tua yang sangat mirip bukanlah hal yang sulit dengan tersedianya bahan dan alat-alat yang diperlukan serta tangan-tangan terampil dari tukang-tukang bangunan (yang didatangkan dari Pulau Jawa).

Keempat, menghadirkan unsur arsitektur rumah Bugis-Makassar (jika direnovasi), bukanlah sebuah keharusan karena mungkin kurang cocok dan boleh jadi norak, dan hal itu sudah terwakili pada gedung Kantor Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan.

Kelima, sebagai bagian dari independensi, Bank Indonesia memiliki hak untuk menentukan model bangunan gedung kantornya sendiri, tentu saja IMB-nya dari pemerintah kota atau instansi teknis terkait setempat.

Gedung Kantor Cabang Bank Indonesia di Jalan Nusantara No. 63 itu memang tinggal kenangan. Meskipun begitu, ia terlalu kokoh mencengkeram dalam ingatan generasi ini. Tolong hadirkan dia. Kendati tak bisa lagi di titik pertama karena telah menjadi kawasan pelabuhan. Di titik kedua, di Jalan Jenderal Sudirman No.3 adalah tempat yang tepat. Kelak, jika sang gedung telah hadir, bermandikan terik mentari dan berselimutkan malam, ia akan akrab menyapa lalu-lintas yang padat di depannya.

Sebuah optimisme mengawal harapan ini, bahwa seorang Burhanuddin Abdullah, kita mengenalnya tidak saja sebagai seorang ekonom dan professional di bidang pekerjaannya, tetapi ia juga seorang sastrawan yang tentu saja memiliki sense of art termasuk pengadaan sarana perkantoran yang memiliki estetika yang tinggi.

No comments: