Friday, June 26, 2009

Catatan tentang Narrative Journalism

CATATAN TENTANG NARRATIVE JOURNALISM
Oleh Arifuddin A. Patunru

Berasumsi bahwa setiap kita, warga komunitas pensiunan Bank Indonesia adalah citizen reporter (pewarta warga) yang berkontribusi dengan Lentera Citra, maka memahami jurnalisme mungkin berfaedah.
Bermula dari sebuah surat elektronik dari Siti Nurrofiqoh yang dialamatkan ke miling list di mana saya termasuk anggotanya. Fiqoh menawarkan kursus narrative journalism – jurnalisme bergenre sastrawi -- bagi yang berminat. Saya memutuskan untuk mengikuti kursus itu.
Keputusan saya itu lebih didasari kebutuhan untuk mewujudkan obsesi menulis dengan benar, sebagai wujud tanggung jawab selaku anggota redaksi majalah PPBI Lentera Citra.
Senin, 25 Mei 2009 pukul 9.45, hari pertama kursus jurnalisme. Mencapai lantai 4 sebuah gedung di Jalan Kebayoran Lama No. 18CD cukup menguras tenaga karena melewati tangga. Tak ada lift. Gedung itu merupakan toko-kantor yang kurang terawat. Kusam.. Mungkin pertimbangan kemampuan finansial sehingga Yayasan Pantau memilih tempat itu.
Pukul 10, kelas dimulai. Peserta sebanyak 11 orang. Kecuali saya, peserta yang rata-rata berusia lebih-kurang 30-an semuanya adalah wartawan dari berbagai media cetak dan radio. Mentornya adalah Janet Steel – Professor dari George Washington University.
Mengenakan blous hitam, rok panjang coklat muda dan bergelang ronce, perempuan lajang tinggi 170 cm, 52 tahun ini mengawali kuliahnya dengan sebuah pertanyaan: Breaking news dari televisi, radio, atau internet merupakan tantangan bagi media cetak, bagaimana menulis yang menarik? Bukankah relevansi suratkabar makin terletak pada kemampuannya menyajikan analisis?
Menjawab pertanyaan ini, Steel merujuk Tom Wolfe. 1973, Wolfe memperkenalkan sebuah genre baru yang disebutnya New Journalism. Ia mengawinkan disiplin keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat novel tapi faktual. Genre ini mensyaratkan liputan mendalam, namun memikat. Genre ini kemudian dikenal dengan nama narative reporting atau literary journalism. Wolf menunjuk 4 hal yang membedakan jurnalisme baru dengan jurnalisme konvensional: (1) Pemakaian konstruksi adegan-per-adegan; (2) Pencatatan dialog secara utuh; (3) Pemakaian sudut pandang orang ketiga; dan (4) Catatan yang rinci terhadap gerak tubuh, kebiasaan, dan pelbagai simbol dari status kehidupan orang-orang yang muncul dalam caritanya.
Steel menggambar piramida terbalik dan garis potong horizontal di tengahnya dan menulis 5W + 1 H :




Seorang jurnalis harus memastikan siapa nara sumbernya, kejadian apa, dimana terjadinya, kapan terjadinya, kenapa bisa terjadi dan selanjutnya bagaimana.
Sebagai contoh narrative reporting, Steel membahas Anthony Shadid pada The Washington Post, 31/5/2003: A Boy Who Was Like a Flower. Laporan Shadid ini dipilih sebagai model tulisan bergenre narrative journalism karena sangat rinci, mendalam dan berhasil membawa pembaca seolah berada pada peristiwa kematian seorang anak laki-laki usia 14 tahun, sebagai korban perang di Irak.
Sebelum mengakhiri kuliahnya, Steel memberi tugas kepada peserta kursus, menulis satu halaman, hasil liputan suatu kejadian dan wawancara dengan narasumber.
Rabu, 27/5/2009 adalah hari kedua, diskusi pekerjaan rumah. Tulisan masing-masing peserta dibahas, dikupas kesalahan-kesalahan dan bagaimana seharusnya. Selanjutnya membahas ”Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chick Rini, sebagian dari buku ”In Cold Blood” karya Truman Capote dan kliping harian The New York Times pada 1959 ”Wealthy Family, 3 of Family Slain”
Tugas pekerjaan rumah adalah membuat narasi dengan gaya orang pertama (”saya” atau ”aku” atau ”abdi” atau ”gua” atau lainnya) untuk menggambarkan sebuah adegan. Peserta diminta membaca Amarzan Loebis dalam ”Buru, Menziarahi Negeri Penghbisan”
Jumat, 29/5/2009 hari ketiga. Diskusi tentang pekerjaan rumah yang dibuat berdasarkan ”Buru, Menziarahi Negeri Penghbisan” serta persoalan kata ”saya” Membahas ”Tikungan Terakhir” (laporan kematian wartawan Rudi Singgih) oleh Agus Sopian dan ”It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin.
Sabtu, 30/5/2009 hari keempat, Diskusi bersama Amarzan Loebis – Redaktur Senior majalah Tempo. Dalam menulis, kata Amarzan, harus dicari apa yang menarik pada tema itu. Hal-hal yang menarik itu belum disentuh oleh penulis sebelumnya. Buat daftar apa yang belum diketahui orang dan lakukan eksplorasi.
Berbeda dengan Janet Steel dan Andreas Harsono yang banyak merujuk kepada tradisi jurnalisme Amerika, Amarzan lebih mengacu kepada tradisi jurnalisme Indonesia sendiri. Problem utama kita, menurut Loebis adalah sikap kebahasaan. Tiga puluh dua tahun Soeharto berkuasa, berpengaruh terhadap bahasa Indonesia. Sikap kebahasaan Tempo – Goenawan Muhamad -- tidak ”beriman” 100 persen pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, karena bahasa yang hidup adalah yang secara cerdas mengeksplorasi signal-signal komunikasi antarkomunitas.
Tempo menggunakan gaya bahasa yang basah, menggigit dan berwarna, dan tidak menggunakan: ”dalam kaitan”, ”dalam rangka”, ”sementara itu”, ”dalam pada itu” dan sebagainya. Tempo juga tidak menggunakan akronim-akronim.
Struktur yang digunakan bukan struktur bikini – kata lain piramida terbalik – melainkan struktur bidak:








Hotman Sinaga, 32 tahun, memulai pekerjaannya sebagai peyadap tuak. Ia kayuh sepedanya menuju kebun kelapa .... (Tempo, 11 Juni 1984, ”Ketika Minuman Keras Melekat Bersama Tradisi”)
Setelah lead, pindah ke bridge, paragraf pengantar ke body, lalu masuk ke conclusion , dan end, bagaimana menutup tulisan atau laporan.
Senin, 1 Juni 2009, hari kelima, mentor adalah Andreas Harsono -- Wartawan feature service Pantau, anggota International Consortium of Investigative Journalists, mendapatkan Nieman Fellowship di Universitas Harvard. Menyunting buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Kini menyelesaikan buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism, membahas hubungan media dengan kekerasan etnik, agama dan nasionalisme di Indonesia dan Timor Lorosae.
Sessi ini mendiskusikan tentang dasar-dasar dan etika jurnalisme. Pedomannya, The Elements of Journalism, karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.
Ada 10 elemen jurnalisme.
1) Kebenaran. Kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosentiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartwan memberitakan kecelakaan itu. Dimana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua mungkin ditanggapi pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.
2) Loyalitas. Kepada siapa wartawan harus loyal? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakatnya? Ini penting, karena wartawan punya tanggung jawab yang tak jarang harus melangkahi kepentingan perusahaan tempat mereka bekerja. Contoh konkret adalah sejauh mana reporter TV-One – pemiliknya adalah Kelompok Bakri - melaporkan tuntutan korban lumpur Lapindo. Reporter itu menempatkan loyalitasnya kepada perusahaan atau kepada masyarakat – korban lumpur Lapindo.
3) Disiplin dalam melakukan verifikasi. Disiplin ini mampu membuat wartawan menjaring desas desus, gosip, lupa, kekeliruan, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi, atau seni. Batas antara fiksi dan jurnalisme harus dibuat sejelas-jelasnya. Jurnalisme tak bisa dicampuri fiksi setitik pun
4) Independensi. Kovach dan Rosentiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatanya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Kalau begitu wartawan boleh tak netral? Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Yang prinsip adalah sikap independen terhadap narasumber. Ketika wartawan menulis opini, ia harus menjaga akurasi datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati.
5) Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi. Salah satu cara pemantauan adalah melakukan investigative reporting – sejenis reportase yang berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hokum, yang seharusnya jadi terdakwa dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.
6) Jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena seperti pada zaman Yunani kuno –lewat forum inilah demokrasi ditegakkan. Sekarang, teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga: ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan. Debet publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.
7) Memikat sekaligus relevan. Meminjam moto majalah Tempo, jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu” Andreas menjelaskan tentang komposisi,tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca, dan sebagainya. Ironisnya, dua faktor itu justru dianggap dua hal yang bertolak belakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka dan membosankan. Bukti-bukti cukup banyak bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah-raga, tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku, tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.
8) Proporsional dan komprehensif. Banyak surat kabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul sensasional dan penekannya pada aspek emosional. Kovach dan Rosenstiel mencontohkan surat kabar sensasional, ibarat seseorang yang ingin menarik perhatian dengan melepas pakaian di tempat umum, telanjang. Berbeda dengan pemain gitar yang datang ke tempat umum, memainkan gitar. Sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang mendengarkannya. Pemain gitar ini contoh surat kabar yang proporsional. Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tidak seilmiah pembuatan peta.
9) Setiap jurnalis harus mendengarkan hati nuraninya. Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tugas para redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final, tapi mereka harus senantiasa membuka diri atas semua kritik yang masuk.
10) Sekarang zaman digital menciptakan lebih banyak media dan banjir informasi. Jurnalisme membutuhkan posisi yang sebanding dengan perkembangan teknologi. Warga punya hak terhadap berita, namun ia juga punya kewajiban. Demokrasi dan jurnalisme lahir bersama, dan juga akan jatuh bersama-sama.
Bacaan: “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia: “Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita” oleh Andreas Harsono dalam buku Jurnalisme Sastrawi; Laporan-Laporan dalam Nieman Narrative Journalism Confrence.
Pekerjaan rumah: menulis satu halaman deskripsi yang padat, memanfaatkan penciuman, pendengaran, warna, gerakan, kasar-halus, kontras (lucu, aneh, menarik), merampas perhatian pembaca.
Rabu, 3 Juni 2009. Diskusi lanjutan soal jurnalisme dan masalahnya dengan nasionalisme-agama-etnik-ideologi-gender. Rujukannya: “The Ethnic Origins of Religions Conflict in North Maluku Province, 1999-2000” oleh Chris Wilson; “Panasnya Pontianak, Panasnya Politik” oleh Andreas Harsono dan Douglas Kammen; “Fire Without Smoke and Other Phantoms of Ambon’s Violence” oleh Patricia Spyer.
Sessi kedua adalah diskusi tentang struktur narasi dengan contoh “Hiroshima” karya John Hersey.
Tugas untuk hari Jumat: mencari narasumber dan melakukan wawancara. Membuat deskripsi dan dialog. Menggunakan kalimat-kalimat yang bernas, memikat, indah, kuat serta menyentak.
Jumat, 5 Juni 2009 adalah hari terakhir kursus jurnalisme Pantau. Sessi pertama membahas satu isu dalam empat pendekatan: Aceh, empat naskah, empat gaya, empat struktur. “Kejarlah Daku, Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah; “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono; “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini. Sessi kedua, diskusi tentang sumber anonim dan teknik interview. Berlatih interview dengan bantuan video.
Kursus jurnalisme sastrawi Pantau ditutup sore yang tua itu. Saya bergegas pulang membawa sebuah pengalaman: belajar jurnalisme bersama para jurnalis, sebuah komunitas yang berbeda dengan komunitas yang selama ini saya berkecimpun di dalamnya.

Monday, November 26, 2007

Urbana-Champaign, Catatan Perjalanan (1)

Chicago, 27 April 2004

Duduk 12 jam di kelas ekonomi yang sempit dalam kabin pesawat JAL nomor penerbangan JL.10M, setelah tinggal landas kemarin siang pukul 11.45 dari Narita menempuh jarak 10.089 km cukup membuat penat pinggang dan kaki. Saya mencoba menyiasati mengusir rasa bosan dengan mengobrol dengan Sophie Laurent, sekitar 30-an, yang duduk di samping kanan saya. Reporter sebuah radio di Kanada itu baru saja melakukan lawatan ke Thailand, cukup asyik mendengar pandangan dan pengalamannya di dunia broadcasting. Sekitar 20 menit sebelum mendarat, dari jendela pesawat, langit Chicago bersimbah cerah biru muda mengantarkan panorama kota Al-Capone dan danau Great Lakes di bawah sana.

Roda pesawat menyentuh landasan bandar udara O’Hare pada pukul 10.15. Dua puluhan menit kemudian saya ikut antrian panjang untuk pemeriksaan imigrasi setelah mengisi form disambarkasi. Setelah pemeriksaan oleh petugas imigrasi yang berwajah penuh curiga, buah paranoid pasca tragedi 11 September 2001, saya mengambil koper lalu keluar dari ruang kedatangan.

Di luar, Aco (anak ketiga saya dari lima bersaudara) telah lama menunggu. “Kenapa lama Pak?” tanyanya. “Ada sedikit masalah dengan imigrasi.” Jawabku. Kami bergegas ke tempat parkir. Camry tua tapi masih kondisi lumayan itu perlahan meninggalkan pelataran parkir keluar dari area bandara. Berputar sejenak melihat-lihat kota Chicago, lalu keluar mengambil I-57 (interstate nomor 57) ke arah Urbana-Champaign. Untuk mencapai kota-kembar-kecil itu diperlukan waktu tiga setengah jam. Ia terletak 250 km sebelah selatan Chicago, 216 km sebelah barat Indianapolis dan 306 km utara-timur-laut St.Louis.

Rembang petang ketika kami memasuki Champaign, setelah mampir makan di sebuah warung milik orang Korea, kami ke tempat tinggal Aco. Ia menghuni salah satu unit di lantai 2 di sebuah apartemen sederhana yang terletak di sudut persimpangan Fifth St dan Green St. Dalam hati saya bergumam, perjalanan kali ini berbeda dengan perjalanan-perjalanan (dinas) sebelumnya dengan segala fasilitas, tidur di hotel dan dibekali per diem allowance US 220 per hari.

Champaign, 28 April 2004
Dingin seperti tak mau beranjak di pagi ini pada hal sudah masuk musim semi. Keluar dari apartemen, menyusuri trotoar di tepi Green St. ke arah utara, ketika melangkah memasuki halaman kampus, mata saya tertuju ke patung Alma Mater yang menghadap ke persimpangan Green dan Wright. Melewati patung itu berbelok ke arah selatan, saya masuk ke sebuah gedung bernama Altgeld Hall yang di atas pintu masuknya ada tulisan Mathematics. Di dalam gedung itu ada kantor pos. Keluar dari gedung itu, saya menuju ke gedung di sebelah kiri yang disebut Illini Union yang menyediakan fasilitas ruang publik, ruang pertemuan, ruang kuliah dan ujian, perpustakaan dan toko buku, kafe, restoran dan hotel. Di dalam gedung itu saya menghabiskan waktu, sementara Aco sibuk dengan beragam tugas yang harus ia selesaikan.

Urbana-Champaign, 29 – 30 April 2004
Untuk lebih mengenal sekolahnya Aco, hari kedua dan ketiga, saya gunakan untuk melakukan “pengamatan” lingkungan kampus tua itu. University of Illinois didirikan pada tahun 1867. Kampus berdiri di atas lahan seluas 1.454 acre (setara dengan 5,6 km2 ). University of Illinois at Urbana-Champaign yang biasa disingkat UIUC membawahi 16 colleges dengan jumlah mahasiswa 38.000 terdiri atas 10.000 mahasiswa graduate dan 28.000 under-graduate.
Beberapa tempat saya catat. Di depan Union (gedung dimana saya menghabiskan waktu pada hari pertama) ada lapangan rumput yang dinamai Main Quad yang dikelilingi gedung-gedung. Sebelah kanan, kalau kita membelakangi Union, terdapat Henry Administration Building, English Building dan Lincoln Hall. Di sebelah kanan ada Noyes Lab, Chemistry Annex, Devenport Hall dan Foreign Language Building. Di antara Main Quad di sebelah utara Union ada Foellinger Auditorium dan melewati bangunan ini, kita temukan Undergraduate Library (di bawah tanah) dan lahan pembibitan Morrow Plots yang dikelola sejak 1876. Di seberang jalan setelah Morrow Plots berdiri Mumford Hall. Di lantai 4 gedung itu Aco menempati sebuah ruang kantor, fasilitas yang disediakan universitas bagi asisten peneliti.

Urbana – Niagara, 1 – 8 Mei 2004
Masih dua minggu lagi commencement processional baru diadakan. Berarti ada kesempatan untuk melakukan perjalanan ke beberapa kota atau negara bagian. Sehari sebelum berangkat Aco mempertimbangkan dua pilihan, menggunakan mobilnya sendiri atau menyewa. Dua pilihan itu masing-masing ada plus-minusnya. Kalau memakai mobil sendiri menempuh perjalanan jauh pastilah lebih ekonomis, tetapi kalau ada masalah di jalan, ongkos bisa lebih besar. Selain itu sebelum pulang ke Jakarta, rencana Aco menjual camry tuanya, berarti kondisinya harus bagus. Kalau menggunakan mobil sewa, biayanya relatif mahal tetapi aman dari segala risiko yang mungkin timbul. Akhirnya Aco memutuskan menyewa saja. Kami ke tempat penyewaan mobil. Aco memilih sebuah Jeep Cherokee yang masih baru.

Sabtu, 1 Mei 2004
Selepas salat magrib dijama’ isya, pukul 8 p.m. berangkat dari Champaign. Melewati Indianapolis dan mengisi bahan bakar di Richmond. Sampai di Colombus pukul 1.09 a.m. (Minggu, 2 Mei 2004). Setelah salat subuh di Belmont, perjalanan dilanjutkan. Melewati perbatasan Ohio-Virginia, Union, Cumberland, Pittsburgh. Tiba di Washington DC (lebih kerap disebut DC saja) pukul 11.05 a.m.

DC, 3 - 4 Mei 2004
Di Ibu Kota Amerika Serikat ini, kami mengunjungi tempat kediaman Widodo Barokah, kawan Aco yang sebelumnya tinggal di Urbana. Widodo dan istri mempunyai 2 anak, menghuni sebuah unit yang lumayan luas di apartemen yang relatif bagus. Letaknya di S. Court House Rd, Arlington VA, Pentagon City. Sebuah kawasan militer. Dari jendela apartemen itu, terlihat lapangan tenis yang konon Presiden Bush sering bermain. Widodo menyiapkan sebuah kamar tidur untuk kami. Kamar itu sebenarnya milik Umar, 4 tahun, anak pertama Widodo. Ketahuan dari pernak-pernik dan mainan bocah itu yang ada dalam kamar. Setelah rehat sejenak, ngobrol dengan sahibul bait, makan siang disediakan oleh nyonya rumah.

Sore hari, kami mengunjungi tempat-tempat menarik yaitu kawasan sekitar White House dan Jefferson Memorial. Sebagai pelancong biasa tentu saja kami tak bisa memasuki halaman tempat kediaman orang nomor satu negara adidaya itu. Hanya boleh sampai di depan pintu pagar.

Di Jefferson Memorial bisa agak berlama-lama di senja yang gerimis itu. Prasasti yang terpasang dalam gedung peringatan memberikan sekelumit informasi tentang tokoh yang sangat dikagumi itu. Thomas Jefferson (1743-1826), Presiden Amerika Serikat yang ketiga (1801-1809) yang berlatar belakang pengacara itu memimpin perlawanan menentang kebijakan kolonial Inggris dan ia pula yang menyusun naskah The Declaration of Independence (1776). Jefferson juga menetapkan uang logam dengan sistem desimal sebagai satuan dasar dari dollar (1783-1784). Penyusun naskah asli Northwest Ordinance of 1787 itu bersimpati atas penyebab berkobarnya revolusi Perancis. Sebagai Menteri Luar Negeri (1790-1793) di bawah Presiden George Washington, ia menentang kebijakan keuangan Alexander Hamilton dan sebagai pemimpin dari kelompok antifederalis (Partai Republik) yang merupakan cikal bakal Partai Demokrat.

Hari kedua di DC. Sebuah pagi yang cerah menyilakan siapapun melakukan kegiatan. Kesempatan melanjutkan kunjungan ke obyek-obyek lain di DC harus dimanfaatkan. Kantor World Bank, International Monetary Fund (IMF) yang dibenci oleh sebagian masyarakat Indonesia, Federal Reserve (bank sentral AS) dan gedung Capitol adalah obyek kunjungan yang dapat saya lihat langsung.

Makan siang di sebuah restoran milik orang Turki tidak terlalu jauh dari apartemennya Widodo. Menu Timur Tengah adalah pilihan satu-satunya. Kembali ke apartemen. Sore, pukul 5.30 p.m. kami pamit dan berterima kasih ke Widodo dan isteri.

Berangkat dari Pentagon City dengan tujuan New York harus melewati Maryland, Pennsylvania, New Jersey, Baltimore dan Philadelphia. Gaung malam telah menyelimuti New York ketika Cherokee memasukinya. Alamat yang kami tuju adalah rumah Syamsi Ali, sahabat Aco. Alumnus Pesantren Gombara’ Kabupaten Maros itu berdomisili di 47th St. Astoria, Queen. Kebiasaan orang Bugis yang merasa punya kewajiban menyiediakan makan tamunya masih melekat di keluarga itu meskipun berdiam di Amerika. Menu yang biasa di lida kembali bisa dikecap. Selesai makan malam, ngobrol tentang kampung halaman, tentang kesibukan dai yang lagi kondang pasca tragedi 11 September 2001, hingga kantuk tak mau lagi diajak kompromi. Kami masuk tidur.

Friday, November 23, 2007

Urbana-Champaign, Catatan Perjalanan (2)

New York, 5 Mei 2004

Ba’da salat subuh yang diimami sahibul bayit, ngopi-ngopi sembari melanjutkan obrolan yang terputus tadi malam. Topik obrolan di seputar sikap paranoid dan kebencian sebagian orang Amerika terhadap Islam hingga ketertarikan orang per orang akan Islam, mungkin sebuah blessing in disguised. Syamsi cerita juga tentang pengembangan Islamic Center yang dikelolanya. Dai kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan itu cukup puas dengan aktivitas yang digelutinya.

Pagi yang gerimis di luar tak menghalangi rencana kunjungan ke beberapa tempat. Menggunakan sub-way dan ditemani Syamsi, kami ke Manhattan. Ketika saya menyusuri jalan yang terkenal itu, terbetik dalam hati, “Nanti malam mungkin saya bisa lihat 1000 kunang-kunangnya Umar Kayam” Kami ke kantor PBB, sekedar ingin tahu seperti apa sih organisasi dunia itu. Ground Zero, lokasi gedung kembar World Trade Center (WTC) yang runtuh pada 11 September 2001 karena ditabrak pesawat. Sebuah papan besar bertuliskan nama-nama korban tragedi itu. Saya ingin mampir di Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Liberty Building, namun karena bertepatan dengan Hari Peringatan Maulid, kantor tutup. Obyek kunjungan yang juga ingin saya datangi adalah New York Stock Exchange (NYSE) di Wall Street, bursa terbesar di dunia, tempat para praktisi dan jagoan permainan saham.

Patung Liberty yang kesohor itu tentu tak boleh terlewatkan. Patung yang tingginya 151 kaki dan penyanggah 305 kaki itu terletak di sebuah pulau di luar Pelabuhan New York, hasil karya Frederic Auguste Bartholdi, dipersembahkan oleh rakyat Prancis pada tahun 1886 sebagai lambang persahabatan rakyat Prancis dan rakyat Amerika.

Ketika senja yang basah membalut New York kami kembali ke rumah Syamsi Ali. Malam harinya ia mengajak kami ke Islamic Center. Bagian utama yang merupakan mesjid dapat menampung sekitar 400 orang. Syamsi menuturkan bahwa hampir setiap minggu ada orang Amerika yang tertarik masuk Islam datang ke pusat Islam di kota New York itu.

Boston, Massachusetts, 6 Mei 2004

Pagi itu kami meninggalkan rumah Syamsi Ali. Perjalanan dilanjutkan dengan tujuan Boston, Massachusetts. Jeep Cherokee yang kami gunakan memasuki kota Boston pada pukul 9.35 a.m.

Di Boston ini ada dua pergururan tinggi yang sangat prestisius yakni Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT). Berputar sejenak melihat-lihat kota itu seolah berada di London karena kemiripan gedung-gedungnya. Lalu kami menuju ke Harvard University. MIT, yang berdampingan dengan Harvard adalah tempat kedua kami kunjungi.

Sore hari kami tinggalkan Boston dengan tujuan Niagara Falls. Perjalanan menempuh jarak yang jauh antara Massachusetts – Niagara di malam hari, karena lelah dan kantuk, memaksa kami berhenti beristirahat, tidur di sebuah hotel bernama Amsterdam Hotel.

Syracuse, Newark, Buffalo, Niagara, 7 Mei 2004

Perjalanan diteruskan pagi itu. Setelah menempuh beberapa puluh mil, kota yang dilewati adalah Syracuse, Newark, dan Buffalo. Hari sudah siang ketika Cherokee kami memasuki Niagara. Niagara Falls yang membatasi wilayah Amerika Serikat dan Kanada yang menyajikan panorama yang indah membuat kami betah menghabiskan waktu hingga sore.

Niaga – Illinois, 8 Mei 2004

Sepanjang malam itu kami tempuh jarak Niagara-Illinois. Masih pagi ketika memasuki kawasan negara-bagian ini. Karenanya Aco memutuskan tidak langsung pulang ke Champaign melainkan mampir dulu ke sebuah desa yang didiami etnis Amish. Komunitas ini kalau diamsalkan dengan negeri kita, sama dengan orang Kajang di Sulawesi Selatan atau orang Badui di Jawa Barat. Mereka menolak modernisasi. Pria Amish memelihara jenggot tanpa kumis. Perempuan Amish berbusana konservatif, busana wanita Eropa zaman dulu, rok panjang, baju berlengan panjang dalam satu warna biru tua dan selalu mengenakan topi (pengganti kerudung kalau di negeri-negeri muslim) Kalau ungkapan pelecehan di Indonesia: “Udik lu!” atau “Pakampong!”, di Amerika, ungkapan itu adalah: “Amish you are!” Alat transportasi yang digunakan adalah delman yang ditarik kuda. Mobil mereka haramkan. Karena mereka tidak menggunakan mesin cuci, maka di pekarangan rumah mereka terlihat jemuran pakaian. Agak unik memang. Ada sekelompok orang “kajang/badui” di negeri ultra modern itu.

Urbana-Champaign 9 – 14 Mei 2004

Seminggu lagi, rangkaian acara wisuda diadakan. Agenda kegiatan Aco demikian padat. Kertas-kertas kerja dan tulisan-tulisan untuk jurnal yang belum rampung hingga penjilidan disertasinya harus ia kebut.

Hari-hari sibuk itu, terkadang saya ikut menemaninya ke berbagai tempat tapi lebih banyak di apartemen atau jalan sendiri menyusuri kota kecil itu.

U of I, 15 – 16 Mei 2004

Sabtu sore 15 Mei 2004 saya dan Aco menghadiri Departmental Celebration di Colonial Room, Illini Union. Pidato sambutan Earl Swanson, Professor Emeritus of Agricultural Economics bertemakan Keep in Touch! Ia berharap kepada semua wisudawan bahwa jangan pernah terputus hubungan dengan almamater. Aco dalam pidatonya mengungkapkan bahwa menuntut ilmu adalah sesuatu yang sangat penting di keluarganya. Selepas SMA di kota kelahirannya, ia naik kapal laut ke Jakarta mengikuti kuliah di “U of I” Jakarta (UI diplesetkan seolah afiliasi University of Illinois). “Ayah saya yang juga hadir dalam acara ini, menempuh penerbangan selama 23 jam dari Indonesia”, hadirin berdecak.

Minggu pagi 16 Mei 2004, kami menghadiri undangan President University of Illinois James J Stukel dan Chancellor Nancy Cantor. Acara di halaman belakang rumah kediaman rektor itu tak ada pidato-pidatoan, hanya minum dan mencicipi snack.

Pukul 10 a.m. kami mengikuti Graduate Programs Convocation Ceremony di Smith Memorial Hall. Para wisdudawan dari berbagai jurusan, satu persatu di-hood (dikalungi kain di punggung yang menjuntai ke bawah, mirip Robin Hood). Pukul 10.30 a.m., commencement procession se U of I diadakan di Assembly Hall. Prosesi gabungan seluruh college dipimpin Nancy Cantor. Menyanyikan lagu kebangsaan, “The Star-Spangled Banner” oleh seluruh hadirin, berikut acara lainnya hingga sore.

Hari-hari menjelang pulang, 17 - 27 Mei 2004

Masih tersisa 10 hari lagi setelah acara wisuda itu. Sementara Aco masih sibuk dengan berbagai urusan sekolah, saya membantu mengepak barang. Buku-buku Aco yang begitu banyak memerlukan keterampilan mengepaknya dalam koper. Saya khawatir akan terjadi over weight saat keberangkatan di airport nanti.

20 Mei 2004 Aco mengajak saya ke Purdue University di Indiana. Di sana ada beberapa mahasiswa Indonesia, teman Aco. Widodo, isteri dan dua anaknya datang juga dari DC.

24 Mei 2004, kami ke Chicago. Tempo hari ketika baru sampai, setelah keluar dari O’Hare Airport, hanya sebagian kota Chicago saya lihat dari jendela mobil. Kali ini saya datangi lagi kota ini untuk melihat lebih dekat bagian-bagian yang menarik seperti Navy Pear, Chicago Tribune, ruang pamer Apple dengan produk-produk barunya yang sangat futuristik. Sore balik ke Champaign.

Waktu untuk membereskan barang yang akan dibawa pulang ke Jakarta sisa 2 hari. Selesai salat subuh Kamis 27 Mei 2004, barang pecah belah dan alat-alat dapur kami bawa turun ke tempat sampah. “Sebentar juga datang pemulung mengambil ini Pak” kata Aco. Dan, memang benar, selang kira-kira sejam kemudian, ada mobil berhenti dekat tempat sampah itu, seorang bertampang Amerika Latin menaikkan barang-barang yang dibuang tadi.

Pagi itu dengan diantar Aria, sahabat karib Aco, kami meninggalkan Urbana-Champaign menuju O’Hare Airport di Chicago untuk seterusnya pulang ke Jakarta…

Friday, November 16, 2007

Untuk Bung Asahan Aidit

dari Goenawan Mohamad

Terima kasih kepada Bung Asahan. Komentarnya tentang jawaban saya untuk A. Kohar Ibrahim bukan saja menjernihkan pikiran dan menyejukkan hati, tapi juga menumbuhkan perspektif yang selama ini ingin saya pelihara: Masa lalu penting, tetapi sejarah tidak bisa mandeg. Itu sebabnya kata-kata Bung Asahan, tentang "permusuhan" antara "Manikebu" dan Lekra, mengetuk hati: "mengapa segi-segi kesia-siaan atau debu-debu permusuhan itu musti dibangkitkan ketika hal itu sudah tak perlu."

A Kohar Ibrahim hidup jauh dari Indonesia bertahun-tahun, dan saya bisa mengerti bila ia tak punya informasi apapun tentang yang terjadi di sini – detailnya, ketegangan dialetik antar pelbagai laku dan suara, perubahan dan pergeserannya, keaneka-ragamannya.

Tapi yang saya sayangkan adalah bahwa ia, yang tak asing dengan Marxisme, melihat sejarah sebagai batu. Sejarah tak pernah beku secara monolitik. Ia selalu bisa ditafsirkan kembali ketika kesadaran baru tumbuh.

Ada satu catatan lain. Siapa yang memandang diri ke cermin dan berkata, "la victime, c'est moi", akan segera jadi seorang narciss, sekaligus seorang yang ingin memonopoli heroisme dalam penderitaan. Ia tak melihat bahwa penderitaan bisa terjadi di tempat yang berlainan dan berlawanan. Seorang Lekra yang seperti itu tak akan jauh berbeda dengan seorang "Manikebu" yang menyusun buku (misalnya Prahara Budaya) untuk memperlihatkan luka-luka masa lalunya sendiri dan dengan itu tak hendak memperlihatkan bahwa luka-luka telah dan akan terjadi di tempat lain.

"La victime, c'est moi" – dengan itu sang korban tak melihat bahwa jadi korban bukanlah sebuah lisensi untuk tetap berada di atas penilaian baik dan buruk.

Ada sebuah kalimat yang bagus dari Injil, "Jangan menghakimi, agar kelak kita tak dihakimi". Pesan yang arif itu bagi saya mengingatkan bahwa untuk menghakimi kita memerlukan satu postur tersendiri – yakni postur dalam kedaifan, dengan kemungkinan bersalah, keterbatasan informasi dan kondisi bahasa. Politik, yang memang harus dimulai dengan membuat garis kawan-dan-lawan, pada akhirnya akan merupakan politik dalam keterbatasan: kita tak bisa berpegang pada satu garis kawan-lawan selama-lamanya, karena sejarah bukanlah batu. Kita tak bisa untuk "tumpas kelor", menghabisi sehabis-habisnya pihak lawan. Kita memandang lawan bukan sebagai musuh.

Hanya dendam dan kebencian saja yang akan bersikap "tumpas kelor" dalam serang menyerang. Saya kira, buat mengenang yang terjadi setelah 1965 – kekejaman yang terbesar dalam sejarah Indonesia modern, ketika ribuan orang dibunuh, disiksa dan dibuang -- harus disertai kemauan mengingat bahwa pada mulanya adalah sebentuk bahasa kebencian. Dari sini "lawan" berubah jadi "musuh". Jarak antara saat itu dan pembantaian (termasuk pembungkaman total) hanya beberapa sentimeter.

Empat puluh tahun lebih setelah semua itu lewat seharusnya waktu cukup untuk, kalau pun hendak menengoknya kembali, menengoknya dengan tanpa hasrat "tumpas kelor". Di masa lalu, ganyang mengganyang dilangsungkan disertai hasrat "pembersihan", sebab itu berbareng dengan mobilisasi kekuatan politik. Tapi sekarang, buat apa? Siapa yang sekarang akan membrangus ide-ide "Manikebu" dan juga ide-ide Lekra?

Dengan demikian, seperti dikatakan Bung Asahan, "tidak perlu" mengulang bahasa "pengganyangan" di masa lalu.

Maka bagi saya penting bila A. Kohar Ibrahim menunjukkan benarkah, seperti dikatakannya, Manifes Kebudayaan "mem-panglima-kan politik kaum militeris dengan pangkat Jenderal Jenderal"? Bagaimana pula "Manikebu", seperti kata Kohar Ibrahim, "menjalani politik yang paling kotor dan keji"?

Kohar perlu (malah wajib) menjawab, sebab dengan demikian akan jelas, apakah ia hanya memamah-biak bahasa "pengganyangan" di masa lalu ataukah ia mau menyumbangkan informasi baru agar kita belajar dengan lebih seksama dari sejarah.

Dalam tiga postingnya yang terbaru, ia belum menjawab. Ia malah menambah tuduhan baru. Misalnya ia mengutip pernyataan bahwa H.B. Jassin adalah "pegawai Belanda" – dengan implikasi bahwa kritikus ini pernah berkhianat kepada Republik.

Saya akan menggunakan kesempatan ini untuk menunjukan, bahwa informasi itu sangat meragukan. Silakan buka Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esei, Jilid I, halaman 68-71. Dalam suratnya buat Aoh Kartahadimadja yang dimuat di kumpulan kaya Jassin itu, di tahun 1948, Jassin mengecam Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Mereka bertiga bekerja untuk majalah Gema Suasana yang mengritik api nasionalisme yang berkobar waktu itu. Jassin melihat bahwa dalam majalah itu ada "beberapa orang Belanda di belakang layar", di antaranya pejabat tinggi dalam tentara pendudukan. Seraya mengecam Chairil, Asrul, dan Rivai, di sini pula H.B. Jassin menampik "humanisme universil" macam ini – sebuah penolakan yang juga kita dapatkan dalam naskah Manifes Kebudayaan.

Bagaimana mungkin Jassin jadi "pegawai Belanda" di masa revolusi itu, kalau ia menolak sikap politik redaksi Gema Suasana? Contoh di atas menunjukkan, bahwa ketika kita tak lagi dalam panasnya api "pengganyangan", sebuah perdebatan seharusnya bisa lebih disusun dengan penalaran yang lebih masak, dengan data yang lebih sahih.

Kini waktunya untuk menelaah argumen-argumen dalam Manifes Kebudayaan maupun dalam asas Lekra serta "realisme sosialis" dengan lebih analitis. Seperti halnya kini sudah mulai terbuka peninjauan kembali tuduhan "Orde Baru" tentang hubungan PKI dan "G-30-S", kini sudah waktunya juga untuk menyimak kembali, benarkah "Manikebu," seperti dituduhkan A. Kohar Ibrahim, "menjalani politik yang paling kotor dan keji", mengapa ia dicap "kontra revolusioner" dan harus dilarang.

Dengan begitu, para peminat sejarah Indonesia modern, juga peminat ide-ide sastra dan politik, akan mendapatkan lebih banyak manfaat ketimbang hanya mendengarkan ulangan teriak orang-orang tua yang telah parau.

***

Salam,


Goenawan Mohamad

_____________________________

Dari: Asahan Aidit, Holland
E-mail: annakarenina@quicknet.nl

Tulisan Kohar maupun tanggapan Sdr. Goenawan Mohamad ini sangat menarik untuk diperhatikan dan dibaca. Saya sangat berharap Kohar juga memberikan tanggapan kembali atas tanggapan Goenawan Mohamad yang teramat penting ini. Pembaca akan banyak belajar dan menerima informasi yang berharga dari masa lalu yang masih banyak keburaman dan ketidak pastian informasi dan pengetahuan yang memadai. Jadi hendaknya jangan sampai cuma terjadi dialog satu jalur dan begitu saja selesai.Tentu saja banyak tergantung pada bung Kohar apakah komunikasi verbal ini tidak cuma terputus hingga di sini saja.

Salam,

BISAI

----------------------

Hingga saat ini kita belum melihat tanggapan dari Kohar. Mungkin dia sibuk, mungkin juga dia sedang menyiapkan jawabannya, mungkin juga dia sedang tidak ada di rumah, atau mungkin juga ia sedang berpikir dan bahkan mungkin juga ia akan berdiam diri saja. Kita tidak tahu dan kita tidak menuduh alasan yang manapun karena akhirnya menjawab atau tidak menjawab terpulang kepada yang bersangkutan, tidak ada keharusan dan juga tidak ada paksaan.

Tapi saya menjadi tidak sabar atau kurang sabar mungkin, karena dunia Internet memang untuk reaksi cepat yang bila tidak, menjadi cepat basi dan dilewatkan dari ingatan para pemilis. Dan kemungkinan salah reaksi dalam internet tentu tidak akan sebahaya "sokongan" surat kabar "Harian Rakyat"yang dibilang sementara orang bisa jadi bukti keterlibatan PKI dalam G30S.

Saya sangat tertarik akan pikiran-pikiran Sdr. Goenawan Mohamad dalam menanggapi berbagai soal yang ditulis oleh Kohar Ibrahim. Pengetahuan saya sekitar "Manikebu"atau untuk selanjutnya saya akan menggunakan istilah "Manifes Kebudayaan"( MK) saja untuk tidak memberikan warna tabu masa lalu dan juga perdebatan antara Pramoedya Ananta Toer(PAT) kontra MK sangat sedikit saya ketahui karena pada masa-masa itu saya sudah berada di Moskow sedang melanjutkan pelajaran. Selama kegiatan kehidupan Partai saya di Moskow, grup Partai saya tidak pernah membicarakan apalagi mendiskusikan soal MK atau perdebatan sengit antara PAT dengan MK. Padahal hampir semua peristiwa politik dan juga Kebudayaan selalu jadi tema diskusi Partai. Tapi dari ingatan, memang pernah terdengar teman-teman saya menyebut "Manikebu"yang dalam waktu cukup lama tidak saya ketahui dari singkatan apa "Manikkebu"dan baru belakangan saya ketahui yang entah sejak kapan.

Tapi itu sekedar itermezzo yang mungkin bukan hal yang terpenting untuk dibicarakan. Saya setuju apabila ada pikiran yang tidak mau mengorek-ngorek masa lalu yang bisa membangkitkan memori kengerian, kebencian apalgi kekotoran sejarah yang dimiliki bangsa ini. Tapi itu tentu saja tidak mutlak. Dalam kasus-kasus tertentu di mana satu pihak bersikap agressif terhadap pihak lawannya dan kembali mengais-ngais pengalaman traumatis untuk membangkitkan kembali kebencian dan dendam masa lalu, ketidak setujuan saya menjadi batal.

Tapi sekali lagi inipun tidak mutlak, karena harus juga melihat per kasus, waktu dan suasana. Bila seseorang dari lawan politik kita telah menunjukkan pemikiran positipnya dan meningglkan pemikiran lama yang kita anggap berlawanan dengan pemikiran kita, mengapa kategori lama masih harus dipertahankan. Di manapun seseorang pernah berada, tapi bila dia telah memisahkan pemikiran lamanya dari pemikiran barunya yang positip, kita tak bisa terikat darimana dia berasal. Pemikiran baru yang positif adalah selalu sebuah kemenangan bukan hanya untuk satu pihak yang diuntungkan tapi untuk semua pemikiran positif yang akan menguntungkan kemanusiaan yang wajar, yang berobah maju ke arah perbaikan dan perubahan. Persetan dia dari Karang Teritis atau dari Tanjung Karang, yang penting seseorang sudah berangkat dari asal mula yang dulunya tak menyenangkan hati kita, ke kediaman baru yang bertetangga dengan kita dan membawa kedamaian dan bukan pertengkaran.

PAT adalah seorang pengarang besar yang hingga pernah dinominasi sebagai calon penerima hadiah Nobel meskipun hingga dia wafat, nominasinya tak pernah menjadi hadiah yang sesungguhnya. Saya pernah bertanya pada Ajip Rosidi yang selama berkunjung ke rumah saya di Belanda, yang asal dia bicara soal Pram lalu dia bilang, "Pram itu nganggapku musuh bebuyutan, dia nggak punya temen, abis sombongnya bukan main, kasian tu orang".

Lalu saya tanya, tapi kan kau selalu bilang kau nyokong dia supaya bisa dapat hadiah Nobel. Ajip menjawab cepat: Ya, dong, Pram itu kan milik Indonesia".

Pram bukan hanya milik Indonesia, tapi juga ia pernah anti Komunis. Bacalah "SUBUH" ,bukunya yang terkenal itu. Dan Pram pernah anti Komunis tidak tanggung-tanggung. Tapi juga ketika pemikirannya berubah ke arah yang positif, dia tinggalkan pikiraan anti Komunisnya yang terdokomentasi dan juga merupakan hasil sastra yang begitu berbobot. Sekarang setelah Pram berubah pikiran dan menyuarakan dengan lantangnya suara LEKRA, apakah bukunya yang "SUBUH" itu kita tunjuk-tunjukkan kepadanya sebagai peringatan seperti kita menunjuk-nunjuk "MANIKEBU"kepada seseroang yang sudah tidak berpikir seperti tempat asalnya lagi atau telah berpikir lebih positif dan bahkan konstruktif bagi masa depan dan pembaharuan yang lebih cerah.

Perdebatan Pram dengan pihak MK, meskipun pikirannya mewakili pikiran Lekra, tapi perdebatan itu tetap saja perdebatan antara satu orang Pram dengan pihak MK ( memang sastrawan selalu berjuang sendiri, dimaki beramai ramai tapi sangat sedikit atau sama sekali tak mendapat dukungan dari teman-temannya sendiri). Dan dalam kenyataan, PKI tidak pernah dan bukan yang membubarkan MK dan bung Nyoto sendiri sangat menyayangkan bahwa MK dibubarkan, perdebatan terhenti (sifat dramatis bangsa Indonesia, suka melerai atau menghentikan perdebatan atau perselisihan dengan cara merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak lain).

Sekarang MK dan LEKRA sudah masa lalu tapi rasa perseteruan ternyuata masih ujud meskipun kedua-duanya ahirnya juga korban Orde Baru. Itu barangkali juga manusiawi, tapi mengapa segi-segi kesia-siaan atau debu-debu permusuhan itu musti dibangkitkan ketika hal itu sudah tak perlu atau dengan kata lain yang lebih merakyat seperti dalam pepatah, untuk apa sih "MEMBANGUNKAN LALAT TIDUR".

Saya sangat mengerti akan kemasygulan Goenawan Mohamad.


Asahan Aidit.

-------------------------

From: Hasan MA Udin
To: HKSIS@yahoogroups. com
Sent: Wednesday, November 07, 2007 11:34 PM
Subject: Balasan: Tanggapan untuk A. Kohar Ibrahim

Mengganyang Manikebu adalah salah satu politik cari musuh dari PKI almarhum, orang yang mesti dipersatukan malah dimusuhi, difitnah....

Sungguh menyedihkan, sampai hari ini Kohar Ibrahim masih membawa langgam lama, main fitnah..

Kenapa sih? Nah saya tunggu penjelasan dari Kohar.

Hasanudin

Saturday, November 10, 2007

Hadirkan (Kembali) Gedung Tua Itu...
(Surat Terbuka untuk Pak Burhanuddin Abdullah)

Kalau sekiranya serial sinetron yang pernah ditayangkan di sebuah televisi swasta bertajuk Lorong Waktu yang pemeran utamanya Dedy Mizwar bukan sekedar sinetron, tetapi ia benar-benar ada, maka mesin waktu itu sekali-sekali kita sorotkan ke Kota Makassar yang pernah bernama Ujungpandang. Waktunya kita setel ke tahun 1970an.

Cakupan liputan difokuskan pada dua titik lokasi yaitu Jalan Nusantara No.63 dan Jalan Jenderal Sudirman No. 3. Titik yang pertama adalah lokasi gedung Kantor Cabang Bank Indonesia Ujungpandang yang lama. Kalau sudut pengambilan gambar dari depan agak ke utara ketika matahari mendekati titik kulminasi, dapat dipastikan akan menghasilkan gambar perspektif sebuah gedung dengan gaya arsitektur yang senapas dengan gedung Bank Indonesia di Jakarta Kota dan gedung KBI-KBI lain yang ada sejak zaman Belanda.

Titik yang kedua adalah Kantor Bank Indonesia Makassar yang berhadapan dengan Lapangan Karebosi, tak jauh dari perempatan Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Jenderal Ahmad Yani. Letaknya memang sangat strategis di jalan protokol itu.

Hanya saja gedung kantor ini tidak lagi bernuansa klasik. Pilar-pilar dan les plank yang dibungkus aluminium anodize terkesan gelap. Bagi orang awam seperti saya, tidak mengerti dasar pertimbangannya dalam memilih bentuk bangunan berikut warna ketika gedung itu dibangun.

Pemindahan kantor dari gedung lama ke gedung baru, karena volume kegiatan operasional yang kian meningkat memerlukan ruang kerja yang lebih luas. Setelah KBI pindah, gedung itu dipinjam-pakai oleh BPD Sulsel.

Sekarang titik pertama itu tak ada lagi. Ia tereksekusi secara semena-mena oleh pemerintah kota Makassar. Kalau saja pihak yang berkuasa di sana mau mencontoh Pemerintah DKI Jakarta atau kota-kota lain di Jawa, yang menghargai benda-benda yang memiliki nilai historis, tentulah gedung yang bergaya arsitektur renaissance yang didirikan pemerintah kolonial Belanda pada Abad XVI itu masih berdiri sebagai saksi sejarah.

Penggusuran gedung-gedung antik itu oleh pemerintah kota tak menyisakan posisi tawar bagi para pemiliknya, karena ia atas nama kebijakan perluasan kawasan pelabuhan yang maha-penting untuk memajukan perekonomian Sulawesi Selatan dan Indonesia Timur. Pada hal kalau kajiannya sedikit lebih komprehensif, boleh jadi gedung-gedung bersejarah itu tak perlu digusur.

Bukan hanya gedung kantor Bank Indonesia di Jalan Nusantara No.63 itu yang tergusur, gedung-gedung kantor lainnya yang sezaman pendiriannya dengan ex kantor De Javasche Bank itu seperti Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Dagang Negara yang tempo doeloe bernama Excompto Bank dan gedung-gedung tua lainnya, semua tak luput dari buldoser.

Memang sebuah ironi tatkala BI berhadapan dengan pihak penyimpan kepentingan yang bernuansa kolutif dengan penguasa setempat, harus menjadi pecundang. Bagian belakang Mess BI di Jalan Pasar Ikan yang dulunya ada kolam renang yang tak kalah bagusnya dengan Tirta Samudra dan selebihnya adalah ruang publik yang mencium bibir pantai, kini sudah dikepung oleh reklamasi yang dipenuhi cottage-cottage milik sebuah hotel tetangga mess itu. Tak tercapai keinginannya merebut kepemilikan Mess BI, maka ruang publik di pinggir laut itulah yang dicaplok. Entah bagaimana, pantai dan sebagian laut yang dikuasai negara dan sepenuhnya untuk kepentingan umum, beralih kepemilikan ke perorangan (pemilik hotel itu).

Grand Hotel (kini Kantor BRI) yang berseberangan Kantor Gubernur (kini Kantor Wali Kota) juga menyisakan kemasgulan dan kekecewaan yang mendalam di wajah rombongan wisatawan Belanda paruh-baya pada suatu ketika mereka ingin bernostalgia di hotel itu.

Menemukan kembali rekam jejak gedung tua milik BI itu, saya tak yakin sistem kearsipan di KBI Makassar mampu memenuhi keinginan, menyimpan audio visual file tentang gedung itu apa lagi alat-alat cakram padat (video compact disk –VCD) belum tersedia banyak seperti sekarang.

Itulah sebabnya, untuk menghadirkan kembali romantisme masa lalu diperlukan mesin waktu ala Dedy Mizwar itu. Karena ia sebatas hayal, maka dalam kesempatan ini saya menitipkan sebuah harapan kepada Pak Burhanuddin Abdullah, kiranya kerinduan akan masa silam bisa terobati, kalau memang ada rencana merenovasi Kantor Bank Indonesia yang menatap Karebosi itu, tolonglah gedung Kantor Cabang Bank Indonesia yang pernah ada di Jalan Nusantara No.63 itu dihadirkan kembali di Jalan Jenderal Sudirman No.3 Makassar.

Himbauan dari seorang yang bukan siapa-siapa dan hanya kebetulan memulai bekerja di KBI yang tinggal kenangan itu pada 1 Desember 1969 sebagai tukang ketik jurnal, didasari beberapa alasan.

Pertama, gedung KBI Makassar saat ini ditinjau dari aspek arsitektur, sebagai salah satu kantor yang berkedudukan di ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan, ia tak memiliki nilai kultural yang berkaitan dengan unsur model rumah Bugis-Makassar.

Kedua, mencontoh renovasi dan perluasan KBI Yogyakarta, Bandung dan Cirebon, ketiga gedung KBI itu menyesuaikan dan mempertahankan gaya arsitektur gedung lama, maka renovasi gedung KBI Makassar seharusnya menghadirkan pula gaya arsitektur renaissance.

Ketiga, membuat tiruan bangunan tua yang sangat mirip bukanlah hal yang sulit dengan tersedianya bahan dan alat-alat yang diperlukan serta tangan-tangan terampil dari tukang-tukang bangunan (yang didatangkan dari Pulau Jawa).

Keempat, menghadirkan unsur arsitektur rumah Bugis-Makassar (jika direnovasi), bukanlah sebuah keharusan karena mungkin kurang cocok dan boleh jadi norak, dan hal itu sudah terwakili pada gedung Kantor Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan.

Kelima, sebagai bagian dari independensi, Bank Indonesia memiliki hak untuk menentukan model bangunan gedung kantornya sendiri, tentu saja IMB-nya dari pemerintah kota atau instansi teknis terkait setempat.

Gedung Kantor Cabang Bank Indonesia di Jalan Nusantara No. 63 itu memang tinggal kenangan. Meskipun begitu, ia terlalu kokoh mencengkeram dalam ingatan generasi ini. Tolong hadirkan dia. Kendati tak bisa lagi di titik pertama karena telah menjadi kawasan pelabuhan. Di titik kedua, di Jalan Jenderal Sudirman No.3 adalah tempat yang tepat. Kelak, jika sang gedung telah hadir, bermandikan terik mentari dan berselimutkan malam, ia akan akrab menyapa lalu-lintas yang padat di depannya.

Sebuah optimisme mengawal harapan ini, bahwa seorang Burhanuddin Abdullah, kita mengenalnya tidak saja sebagai seorang ekonom dan professional di bidang pekerjaannya, tetapi ia juga seorang sastrawan yang tentu saja memiliki sense of art termasuk pengadaan sarana perkantoran yang memiliki estetika yang tinggi.

Friday, November 9, 2007

Friday, November 2, 2007

Sekali UKM Nge-Blog, Dua Pulau Terlampaui


"Belum ada yang dapat secara meyakinkan mendebat tentang pentingnya peran bank sentral sebagai penjaga gawang stabilitas mekroekonomi” (Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia)

Empat dasawarsa Bank Indonesia (BI) menggeluti dunia usaha kecil adalah sebuah kurun waktu pembelajaran dan pengayaan pemahaman bagaimana memberdayakan kaum ekonomi lemah. Kesungguhan BI dalam mengembangkan kelompok usaha kecil yang mayoritas di negeri ini, dibuktikan dengan eksitensi sebuah satuan kerja khusus menangani pengembangan usaha kecil yang bernaung di bawah Urusan (yang kemudian berubah menjadi direktorat lalu tergradasi menjadi biro) Kredit. Eksistensi dan peran satuan kerja ini terhenti karena berlakunya Undang Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Selain unit kerja tersebut, kerja sama dengan pihak luar negeri banyak dan beragam, baik pemerintah maupun nonpemerintah, antara lain Nederland Economic Institute (NEI), Carl Bro International dari Denmark, GTZ dari Jerman, Masyarakat Eropa, World Bank, ADB dan lembaga-lembaga lainnya. Selain bantuan keuangan dalam bentuk hibah atau pinjaman lunak seperti two step loan, mereka juga memberikan bantuan teknis berupa tenaga-tenaga ahli (advisor dan konsultan). Menyusul berlakunya undang-undang tersebut yang mengharuskan BI menyetop perannya selaku penyedia dan fasilitator kredit program, tersirat keengganan dan kegamangan lembaga-lembaga internasional itu karena BI di mata mereka adalah lembaga yang dapat dipercaya dan memiliki reputasi dalam pemberdayaan komunitas ekonomi lemah.

Mengutip pendapat Burhanuddin Abdullah dalam kolomnya di majalah intern BI, KITA edisi XXVII / Agustus – September 2007, “Paling tidak sampai saat ini sudah ada sekumpulan pemenang nobel ekonomi, termasuk Kydland-Prescott, yang sumbangannya pada bidang ilmu ini berakar pada irrelevancy kebijakan moneter dalam upaya koordinasi untuk menciptakan positive strucural break pada pertumbuhan ekonomi”

Selanjutnya, the best central banker 2007 itu mengatakan bahwa, kemampuan teori ini secara empiris dalam memprediksi hasil sampai saat ini belum terpatahkan. Oleh karena itu, kita memang perlu tetap fokus pada stabilitas makroekonomi sampai teori ini terfalsifikasi, tetapi jangan kemudian menjadi segala-galanya yang dilakukan bank sentral, terutama dalam konteks negara berkembang yang masih dalam proses pemulihan pascakrisis menuju ekilibrium baru yang lebih baik.

Jika BI selaku keeper stabilitas makroekonomi di satu sisi, maka dalam rangka pelaksanaan tugas konstitusionalnya itu, ia harus berperan pula sebagai accessibility stimulant sektor riil (baca usaha kecil/mikro) dengan perbankan di lain sisi. Itulah sebabnya pandangan yang mendikotomikan domein BI hanya pada urusan moneter, sedangkan untuk urusan fiskal dan sektor riil adalah domein pemerintah, menurut saya lebih karena ketidakpahaman akar permasalahan. Opini bahwa BI sudah tidak relevan dengan sektor riil, justeru opini itu sendiri yang tidak relevan.

Dalam konteks pemberdayaan atau penguatan grass root, pengalaman dan reputasi BI empat dasawarsa dalam memfasilitasi usaha kecil, mikro dan koperasi, sungguh sebuah kemubaziran jika dibuang begitu saja. Program pengembangan usaha kecil/mikro perlu berlanjut. Tentu saja dengan penyesuaian yang kontekstual, namun esensinya adalah pemberdayaan ekonomi lemah, mengupayakan agar usaha kecil/mikro bisa tumbuh dan berkembang.

Hanya saja, program-program pengembangan UKM itu mungkin perlu di-review validitas dan efektivitasnya, karena tidak semuanya memberikan manfaat yang optimal. Ambil contoh, 1979 – awal 1990-an ratusan SPID report (Survey Project Identification) yang dihasilkan oleh beberapa Kantor Cabang BI yang dilengkapi RPMU (Regional Project Management Unit) dan melibatkan expatriate dalam tim konsultan, hanya satu-dua saja yang diimpelementasikan oleh bank pelaksana. Belum lagi menyoal kualitas kreditnya. Laporan-laporan BLS (Base-Line Survey) hasil kerja sama dengan beberapa universitas, sejauh mana kemanfaatannya masih dipertanyakan. Lalu lending model yang jumlahnya cukup banyak, cukupkah hanya untuk pajangan rak buku saja?

Perkembangan terkini berkaitan dengan isu grass root yang saya ketahui adalah keberadaan P3UKM (Pusat Pengembangan Pendampingan Usaha Kecil dan Menengah) yang diresmikan 11 Juli 2003 di KBI Bandung. Kini berbagai varian dari P3UKM telah berkembang dalam bentuk KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank) di beberapa propinsi/ kabupaten/kota. Di Jakarta, Surabaya dan Semarang ada PEAC (Promoting Enterprise Access to Credit). Di Banjarmasin ada LP2UMKM Kalsel (Lembaga Pengembangan Pendamping Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kalimantan Selatan). Di Makassar, Lembaga Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Sulawesi Selatan, dalam persiapan pendiriannya.

Jika boleh berkontribusi dalam pengembangan usaha kecil/mikro tersebut, seiring dengan trend yang mewabah akhir-akhir ini, saya menawarkan sebuah gagasan, mungkinkah dunia usaha kecil kita pertautkan dengan dunia maya. Maksudnya, mungkinkah UKM “digiring” memahami dan mengakrabi teknologi informasi? Kalau UKM nge-blog atau di-blogging-kan atau UKM memiliki situs (website) sendiri di antarjejaring (internet), mungkinkah? Yang mungkin menjawab pertanyaan ini hanya Bank Indonesia, karena ia memiliki infrastruktur dan kemampuan untuk itu. Namun dapat diyakini bahwa kalau gagasan ini bisa diterima, maka ia akan memberikan multiplier effect sebagai berikut.

Pertama, di sisi UKM, mereka dapat memperoleh informasi yang mereka butuhkan, mulai dari aspek produksi, pengelolaan usaha hingga pemasaran. Petani dapat mengetahui bibit tanaman unggul tahan-hama, waktu tanam yang tepat sehingga tidak overproduksi untuk menjaga stabilitas harga.

Anjloknya harga tomat dari Rp 5.000,- per kilogram menjadi Rp 900,- perkilogram di Tegal belum lama ini diberitakan oleh sebuah televisi swasta, membuat petani meradang. Tomat segar sedianya dijual ke pasar lokal atau dikirim ke Jakarta, dihambur dan diinjak-injak, unjuk kekecewaan para petani. Kalau saja petani mengerti atau memperoleh informasi bagaimana sistem dan pola tanam yang tepat sehingga tidak terjadi overproduksi, tentulah petani tidak harus menderita kerugian puluhan juta rupiah.

Asumsi, berkat informasi dari sebuah situs internet, peternak dapat mengelola peternakannya sehingga hewan ternaknya bisa terhindar dari penyakit antrax, sapi gila dan penyakit lainnya, nelayan dapat mengetahui waktu yang tepat turun ke laut dan memahami pelestarian lingkungan tidak melakukan penangkapan ikan secara ilegal (bom ikan), perajin bisa berinovasi memunculkan hasil kerajinan yang atraktif, bisa terpasarkan baik di dalam maupun luar negeri. Dan yang terakhir UKM juga dapat memahami bagaimana berhubungan atau menggunakan jasa bank.

Kedua, di sisi perbankan, jika komunitas UKM dapat masuk ke dalam jaringan internet dengan asumsi kelompok-kelompok UKM secara umum telah memiliki website/weblog, maka keterhubungan dua pihak itu tercipta. Program mengenal (calon) nasabah (know your customer -KYC) perbankan bisa jalan, perbankan tidak lagi semata-mata merujuk kepada BI Checking. Intermediasipun bisa berfungsi dan pada gilirannya efisiensi bisa meningkat. Jika perbankan dapat meningkatkan efisiensi, masalah adverse selection (kesulitan bank memilah (calon) nasabah) dan celah terjadinya moral hazard bisa terpecahkan sehingga monitoring cost dapat ditekan.

Selama inefisiensi masih terjadi, lending rate perbankan belum mengacu sepenuhnya kepada BI rate disebabkan kondisi informasi yang asimetrik antara sektor produksi dengan perbankan. Dalam situasi ini perbankan harus memasukkan biaya risiko dalam tingkat bunga pinjamannya (Stiglitz dan Weiss, 1981). Karena bank menghindari risiko (risk adverse) maka mereka cenderung menggabungkan keseimbangan (pooling equilibrium) tingkat bunga untuk debitur baik dan debitur tidak baik. Akibat dari kondisi ini tingkat bunga pinjaman tetap tinggi walaupun BI rate diturunkan.

Jika kondisi informasi simetrik, ex ante (sebelum peristiwa terjadi) bank dapat memilah mana (calon) nasabah yang baik dan mana yang tidak baik. Kalau bank mampu memonitor perilaku debitur atau memiliki informasi yang lengkap tentang debitur, maka bank dapat menurunkan agency cost-nya. Walhasil, bank dapat menekan tingkat bunga ke posisi yang tidak memberatkan nasabah, return pun yang diperoleh bank meningkat. Hal ini tentu berdampak positif terhadap pemberian kredit kepada pengusaha (kecil/mikro).

Ketiga, dari sisi BI, untuk short run mungkin berbiaya tinggi, tapi untuk long run akan sangat murah, hakulyakin benefit-nya akan jauh lebih besar daripada cost-nya. Pada awal implementasi (jika gagasan ini diterima) pembiayaan yang harus dilakukan adalah untuk penyediaan infrastruktur berikut pelatihan. Mencerdaskan komunitas UKM (dari mengenal komputer hingga memiliki blog sendiri) tentu memerlukan biaya. Namun, ketika UKM terhubung dengan perbankan dan kemudahan memperoleh informasi “gara-gara” internet, karena mereka telah menjadi blogger-blogger, maka nilai tambah akan hadir dengan sendirinya.

Ketika UKM terakses dengan perbankan, BI sekali mendayung, dua buah pulau terlampaui. UKM akan tumbuh berkembang, sektor riil menggeliat berkat fasilitas kredit dari perbankan, intermediasi perbankan dapat berfungsi. Peningkatan kuantitas maupun kualitas perkreditan perbankan akan tercapai. Dan ketika capaian-capaian itu teraih yang berujung kepada stabilitas makroekonomi, maka market target BI pun tergenggam. Menyusul stabilnya makroekonomi dan distribusi pendapatan yang adil dan merata, negeri ini pun diharapkan bisa lepas dari lilitan kemiskinan.